Kamis, 05 November 2009

Budaya Maluku

TELAAH UNSUR BUDAYA


Upacara Rujena di Suku Naulu

Latar Belakang

Kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya dapat dimiliki oleh warga masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajarinya. Yang mana didalam kebudayaan tersebut terkandung norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai dan norma-norma budaya itu diturunkan secara turun-temurun dan ditampilkan dengan peragaan secara simbolis dalam bentuk upacara/ritual, seperti yang diungkapkan Susanne K.Langer; Ritual merupakan transformasi simbolis dan ungkapan perasaan dari pengalaman manusia, dan hasil akhir dari artikulasi yang demikian itu merupakan emosi yang spontan dan kompleks (Y.Sumandiyo Hadi;2000:hlm 10). Dan dilakukan secara hikmat oleh para masyarakat yang mendukungnya dan dirasakan sebagai bagian yang intergral dan komunikatif dalam kehidupan kulturnya, sehingga dapat membangkitkan rasa aman bagi tiap warganya ditengah lingkungan hidup bermasyarakat, serta tidak merasa kehilangan arah serta pegangan dalam menentukan sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Terkait dengan itu J.J. Honigmann yang dalam buku pelajaran antropologinya yang berjudul The World of Man (1959:hlm.11-12, dalam Koentjaraningrat 2000:186) membedakan adanya tiga “gejala kebudayan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts, menurutnya kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yakni :

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Kebudayaan merupakan suatu intergrasi dari pola kehidupan suatu masyrakat yang dalam kehidupan saling berhubungan, dimana kebudayaan sebagai suatu keseluruhan yang intergrasi bisa dilihat dengan unsur-unsur kebudayaan seperti yang dikatakan oleh Koentjoroningrat (2000: 203-204) bahwa unsur-unsur kebudayaan dibedakan atas (1) Bahasa, (2) Sistim pengetahuan, (3) Organisasi, (4) sistim perlatan hidup, (5) Sistim mata pencaharian, (6) Sistim relegi, dan (7) kesenian.

Ciri khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa salah satu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus berdasarkan itu suatu kebudayaan dapat dibedakan dengan kebudayaan yang lain. Seperti halnya sistim relegi yang merupakan salah satu unsur kebudayaan dari masing-maisng daerah-pun berbeda dan ini merupakan salah satu ciri khas dari daerah setempat. Unsur-unsur khusus dalam rangka sistim religi dibagi dua sistim, yakni : (1) sistim relegi, (2) sistim ilmu gaib. Semua altivitas manusia yang bersangkutan dengan relegi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, atau biasanya disebut emosi keagamaan, atau relegios emotion. Suatu sistim relegi dalam suatu kebudayaan mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur penting dengan tiga unsur lainnya, yaitu (I) sistim keyakinan; (ii) sistim upacara keagamaan; (iii) suatu umat yang menganut relegi itu. Sistim upacara secara khusus mengandung empat aspek antara lain : (i) Tempat upacara; (ii) saat upacara dilaksanakan ; (iii) benda-benda dan alat-alat upacara; (iv) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. (Koentjaraningrat 2000:376-378)

Berdasarkan penjelasan diatas saya mencoba telaah unsur budaya dengan menggunakan konsep intergrasi struktural sosial dan ilmu antropologi dari seorang tokoh antropologi yaitu A.R. Radcliff-brown (1881-1955) lahir di Inggris pada tahun 1981, sebagai seorang filsafat. Radcliffe-Brown (Turner,1979;40-41, dalam Endraswara, 2006;hlm 236) berpandangan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat hubungan sosial yang khusus dan membentuk suatu keseluruhan yang padu seperti halnya stuktur organik. Karena itu dalam analisis fungsi harus menghubungkan antara institusi sosial dan kebutuhan masyarkat manusia bukanlah semata-mata keadaan individu, tetapi dilihat hasil struktur sosial yang menyatukan mereka. Telaah unsur budaya yang saya lakukan adalah budaya upacara/ritual masa dewasa di Suku Naulu Provinsi Maluku.

Proses Upacara

Di Maluku khususnya didaerah Maluku Tengah, pertumbuhan masyarakat geonologis akan membentuk suatu masyarakat yang disebut negeri atau kampung atau desa, yang sekaligus merupakan basis dari masyarakat Maluku. Perkampungan ini terbentuk dari beberapa mata rumah (marga) yang disebut rumah tau, kemudian beberapa rumah tau ini bergabung menjasi soa dan kemudian berkembang menjadi Hena atau Aman(negeri/kampung).

Suku Naulu mendiami sebahagian kecil wilayah Seram selatan dengan menempati empat buah kampung, masing-masing Negeri lama, Rahua, Aisuru, dan Hawalan. Ditinjau dari sudut letak administrasi, keempat negeri tempat kediaman suku Naulu ini tergolong kedalam wilayah administrasi pemerintah Kecamatan Seram Selatan/Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Pola perkampungan tempat kediaman suku Naulu berbentuk linear dimana rumah-rumah penduduk disusun/didirikan secara berderat sepanjang jalan desa. Rumah-rumah penduduknya umumnya dibuat dengan memanfaatkan hasil alam berupa dahan sagu dan batang-batang bambu.

Penduduk suku Naulu sangatlah terikat dengan daerah tempat kediamanya. Mobilitas penduduk dapatlah dikatakan sama sekali tidak ada. Mobilitas yang tidak berkembang dan keterkaitan dengan daerah tempat kediaman karena adanya anggapan yang berpola bahwa daerah tempat kediaman (tanah dan air) merupakan sumber daya bagi kelangsungan hidup. Masyarakat suku Naulu sebagaimana halnya dengan masyarakat lainnya di Indonesia mengenal adanya larangan dan pantangan dalam struktur kehidupan mereka.

Bagi masyarakat pedesaan, hidup merupakan sesuatu yang sangat berarti dan harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pemanfaat itu sendiri mempunyai arti individual maupun kelompok dan diantara keduanya terdapat hubungan yang erat. Pola pemikirannya adalah demikian: bahwa masyarakat itu sendiri kehidupannya berada dalam suatu proses yang dimulai sejak adanya kelahiran dan berakhir kepada titik kematian, inilah merupakan salah satu unsur kebudayaan, dimana dapat dilihat dari sistim religi atau upacara-upacara adat yang biasa dilaksanakan dalam kehidupan mereka antara lain: (1) Upacara kelahiran dan masa bayi; (2) Upacara masa kanak-kanak (3) Upacara masa dewasa; (4) Upacara perkawinan; (5) Upacara kematian.

Upacara masa dewasa adalah salah satu yang akan ditelusuri oleh penulis, sebagaimana pada kehidupan masyarakat suku Naulu memasuki masa dewasa proses upacara dibagi menjadi dua bahagian, yaitu: (i) Upacara masa dewasa bagi anak laki-laki; (ii) Upacara masa dewasa bagi anak perempuan. Upacara masa dewasa bagi anak laki-laki merupakan salah satu ritual yang memang harus dilakukan dalam kehidupan suku Naulu, dalam kehidupan suku Naulu, nampaknya anak laki-laki mempunyai kedudukan khusus. Didalam kehidupan sosial budaya masyarakat ini, anak laki-laki sejak kecil telah ditempa sedemikian rupa sehingga mereka dewasa mampu bertindak sebagi pria-pria yang bertanggung jawab, bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri maupun terhadap sesamanya. Menurut kehidupan suku Naulu kedewasaan laki-laki ditentukan berdasarkan kemampuan menggunakan senjata panah dan tombak. Pewarisan nilai-nilai budaya yang terkandung pada tombak dan panah dilakukan sejak seorang anak laki-laki masih berada pada usia yang sangat muda. Pada usia sekitar 5 atau 6 tahun anak laki-laki telah diperkenalkan dengan kedua jenis senjata itu. Mulai dengan cara memegangnya, menimang-nimangnya sampai akhirnya ia memiliki kemapuan dan ketrampilan menggunakanya.

Proses pewarisan nilai-nilai budaya ini dilakukan secara langsung, misalanya dengan mengikut sertakan sang anak dalam kegiatan berburu. Proses ini memakan waktu cukup lama selama beberapa tahun. Pada masa lampau seorang anak laki-laki suku Naulu dinyatakan dewasa apabila dia telah sanggup melakukan pertarungan dan mengahsilkan kemenangan dengan membawa pulang kepala seorang pria dewasa. Jadi keberhasilan dalam perkelahian menetukan kedewasaan seorang anak laki-laki. Dengan demikian dia dapat dikategorikan sebagai pelindung dan pembela warga masyarakatnya, khususnya anak-anak dan kaum wanita.

Dewasa ini nampaknya telah terjadi pergeseran nilai dalam kreteria penetuan kedewasaan. Kedewasaan tidak lagi ditentukan lewat kemampuan berkelahi, tetapi oleh kemampuan berburu, menokok sagu dan bertani. Kalau semua ini telah dilakukan barulah ia dianggap dewasa, dan segera orang tuanya bersiap-siap untuk mengadakan upacara masa dewasa bagi sang anak.

Dalam bahasa daerah setempat upacara masa dewasa bagi anak perempuan disebut pinamou (wanita bisu), sedangkan untuk laki-laki disebut rujena yang berarti pemakaian cawat. Pemakaian cawat mempunyai arti penting bagi kehidupan seorang pria Naulu karena mengandung arti pengakuan masyarakat secar yuridis formal akan hak dan kewajiban seorang anak laki-laki sebagai seorang pria dewasa. Upacara masa dewasa bagi seorang anak laki-laki biasanya dilakukan dalam 3 tahap, yakni : (i) Tahap pemakaina cawat disebut rujena( cawat adalah sejenis kain penutup tubuh bahagian bawah yang dibuat dari kulit kayu); (ii) Tahap pembunuhan terhadap hewan upacara disebut pataheri; dan (iii)Tahap pengeshan secara yuridis formal di Suwane/baeleo/rumah adat disebut mataken.

Maksud dan tujuan upacara ini adalah untuk mengalihkan status seorang anak laki-laki dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dengan demikian ketiga tahap pelaksanaan upacara ini pada hakekatnya bertujuan untuk mengsahkan kedudukan seorang anak laki-laki sebagai anggota masyarkat yang dianggap telah mampu bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat. Oleh karena itu secara adat ia diperkenangkan membentuk keluarga.

Waktu penyelenggaran upacara lazim diadakan pada pagi, siang dan sore, setelah matahari terbenam adalah pantang untuk melakukan upacara, karena mereka beranggapan bahwa pada saat malam itu banyak roh-roh jahat yang berkeliaran. Seluruh proses pelaksanaan upacara berlangsung selama tiga hari. Pada hari pertama biasanya rombongan peserta upacara meninggalkan desa menuju tempat upacara ditengah-tengah hutan. Pada hari kedua pelaksanaan upcara perburuan untuk mengisi tagalaya (tempat perbekalan) dan pada hari ketiga tahap pengesahan secar yuridis formal. Tempat penyelenggara terdapat dua tempat, yakni ; (i) untuk tahap 1 dan 2 dilaksanakan di walano (sebuah bangunan seperti rumah yang berada ditengah hutan); (ii) untuk tahap 3 di suwane/baeleo/rumah adat. Pelaksanaan dari upacara ini dapat dilakukan secara individual maupun secara kelompok.

Tahap pemakaian cawat atau rujena

Gambar 1. Walano

sebuah bangunan seperti rumah yang berada ditengah hutan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara Rujena

Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan menuju ketempat upacara ditengah hutan, kemudian kaum pria yang akan diupacarakan mulai melakukan perburuan untuk menangkap hewan upacara yaitu kusu(kuskus), masing-masing harus menangkap seekor tanpa boleh dilukai atau dibunuh. Setelah mendapatkan hasil buruan, kemudian mereka dikumpulkan dengan membentuk sebuah lingkaran. Masing-masing anak didampingi oleh momo kanate (pemimpin upacara di hutan) dan seorang saksi. Kemudian anak-anak tersebut ditelanjangi dan momo kanate mengambil cawat untuk memakaikannya pada masing-masing anak.

Gambar 2. Cawat yang sudah dipakai oleh seseorang

Setelah pemakaian cawat selesai dilakukan, dililitkan sebuah ikat pinggang pada anak-anak tersebut, ikat pinggang tersebut terbuat dari kulit kayu. Kemudian sehelai kain berang (kain berwarna merah darah) dilipat dan dimasukan kedalam ikat pinggang tersebut, dengan demikian berakhir pula upacara tahap pertama.

Tahap pembunuhan terhadap hewan upacara atau pataheri

Setelah selesai melilitkan ikat pinggang dan kain berang masing-masing anak diberikan seekor kusu, mereka diharuskan memegang kusu tersebut pada ekornya, kemudian membunuh kusu tersebut disaksikan oleh momo kanate dan para saksi, untuk melihat dan menilai keberanian, ketrampilan dan kemampuan masing-masing anak untuk membunuh binatang tersebut. Setelah semua anak selesai melaksanakan tugas mereka, pemimpin upacara atau momo kanate menyuruh mempersiapkan meja makan, semua perbekalan didalam tagalaya(tempat perbekalan) dibuka dan diletakan diatas meja makan. Pemimpin upacara kemudian mempersilahkan semua peserta upacara untuk memulai makan bersama, acara ini berlangsung selama 6 hari.

Gambar 3. Cara berburu yang dilakukan oleh Suku Naulu

Setiap kali selesai acara makan bersama , anak-anak yang diupacarakan ditinggalkan sendirian di Walano sementara itu momo kanate dan bersama peserta upacara memasuki hutan untuk berburu guna mengisi tagalaya yang sudah kosong dengan daging-daging yang segar. Hari ketujuh merupakan hari berakhirnya upacara tahap 1 dan 2, sebelum meninggalkan tempat upacara menuju ke desa, anak-anak yang telah diupacarakan itu dikenakan karonum dikepalanya.

Gambar 4. Karonum atau sejenis kain merah yang dililitkan dikepala

Karonum merupakan sehelai kain berang yang dililitkan dikepala sebagai tanda pengenal bagi masyarakat bahwa anak-anak yang mengenakannya baru saja selesai mengikuti upacara masa dewasa tahap 1 dan 2.

Tahap pengesahan secara yuridis formal di Suwane atau mataken

Gambar 5. Proses upacara pada saat menuju Suwane

Setelah rombongan upacara tiba di desa maka mereka disambut oleh semua pria dewasa dan diantarkan menuju suwane, sebelum menuju ke suwane terlebih dahulu harus berkumpul pada suatu tempat tertentu yang letaknya agak jauh dari suwane tersebut, tempat tersebut dinamakan sanahana dan ditandai dengan sebatang pohon linggua. Sementara itu telah hadir pinawasa (pendeta adat) yang akan memimpin upacara pengesahan bersama pembantu-pembantunya yaitu maawaka dan kurupasa.

Gambar 6. Suwane atau Baeleo atau rumah adat

Pada saat yang sama api yang berada didapur suwane dinyalakan oleh kamama dan harus dijaga supaya tidak padam selama proses upacara pengesahan berlansung, dan tifa yang ada di suwane harus tetap ditabuh.

Gambar 7. Tifa adalah salah satu alat musik orang Maluku

Sementara tabuhan tifa berbunyi dan api suwane bernyala-nyala, pinawasa mengambil hati ayam yang telah dipersiapkan sebelumnya dan memasukannya kedalam sebuah mangkuk merah berkaki tiga. Hati ayam yang dimasukan telah dipotong-potong, jumlah potongan biasanya kurang dari jumlah anak laki-lakai yang diupacarakan.

Gamabar 8. Proses upacara pada saat telah sampai di Suwane

Setelah semua selesai dipersiapkan, pinawasa memberikan isyarat agar anak-anak diupacarakan memasuki suwane. Setelah anak-anak itu tiba pada tempat yang telah ditentukan mereka berhenti menunggu perintah selanjutnya, setelah itu mereka diperintahkan untuk mengadu kekuatan dalam memperebutkan hati ayam yang ditempatkan didalam mangkuk merah berkaki tiga.

Gambar 9. Tarian Cakalele

Sesudah itu mereka memperagakan tarian cakalele(tari perang) mengelilingi pohon gadihu yang terletak dekat pintu masuk suwane, proses menari sambil mengelilingi pohon gadihu sebanyak 5 kali, pada pengelilingan ke 5 mereka dilantik oleh pinawasa menjadi mataken.

Mataken merupakan gelar yang diberikan bagi kelompok anak laki-laki yang telah selesai mengikuti upacara masa dewasa yang dilimpahkan oleh pinawasa kepada mereka merupakan perwujudan pengakuan dan pengesahan kedudukan mereka sebagai warga masyarakatyang dapat berdiri sendiri dan dapat bertanggung jawab bagi dirinya sendiri pun bagi orsng lain. Dengan berakhirnya pelantikan oleh pinawasa, berakhirlah sudah rentetan upacara masa dewasa bagi anak laki-laki.

Pantangan yang harus dihindarkan pada proses upacara tersebut:

1. Pelaksanaan upacara ini pantang untuk disaksikan oleh kaum wanita, karena kehadiran mereka bisa mengganggu jalanya upacara bahkan bisa menggagalkanya sama sekali.

2. Api yang dinyalakan didapur suwane harus tetap dijaga supaya tetap bernyala, tidak boleh sampai padam.

3. Pelaksanaan upacara hanya dilakukan pada waktu pagi,siang dan soe tidak boleh setelah matahari terbenam, karena dapat mengganggu jalanya upacara sebab pada saat itu roh-roh jahat maulai berkeliaran.

Lambang atau makna yang terdapat dalam upacara

1. Pemakaian cawat melambangkan anak-anak tersebut tidak lagi dikelompokan sebagai kanak-kanak, dan mereka disebut calon-calon mataken.

2. Calon-calon mateken perlu membuktikan keberanian, kemampuan dan ketrampilan yaitu dengan cara membunuh hewan upacara, degan demikian menggambarkan mereka inilah yang akan bertindak sebagai pelindung masyarakat.

3. Secara visual keberanian seorang mataken dinyatakan dengan penggunaan kain berang pada ikat pinggangnya dan dililitkan pada kepalanya (karonum), kain berang dalam kehidupan sosial budaya masyarakat suku Naulu khususnya dan masyarakat Maluku pada umumnya melambangkan keberanian. Itu terbukti didalam perang Pattimura melawan belanda prajurit-prajurit Pattimura menggunakan kain berang sebagi pengikat kepala. Bagi suku Naulu kain berang selain melambnagkan keberanian dan kejantanan juga melambangkan kebulatan tekad.

4. Api yang berada di Suwane tetap harus benyala melambangkan keabadiaan.

Beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan upacara masa dewasa bagi anak laki-laki tidak didasarkan pada tingkat usia biologis/ tetapi berdasarkan penilaian akan kemampuan dan ketrampilan menggunakan tombak dan panah.

2. Telah terjadi pergeseran nilai dari upacara pataheri.

3. Pemakaian cawat (rujena) merupakan lambang kedewasaan, dan pembunuhan yang dilakukan terhadap kusu merupakan lambang keberanian/kejantanan.

4. Karonum merupakan tanda pengenal bagi mereka yang telah mengikuti upacara amasa dewasa.

5. Kesenian dalam hal ini sangatlah mendukung proses jalanya upacara itu terlihat dari upacara tahap ketiga yang merupakan tahap pengesahan seorang anak laki-laki menjadi mataken, untuk seni musik sendiri tabuhan tifa itulah yang membakar semangat mereka untuk mempersiapkan diri memasuki suwane yang merupakan tempat jalannya upacara pengesahan mereka, kemudian seni tari yaitu tarian cakalele harus dilakukan oleh anak laki-laki yang diupacarakan itu berarti tarian termasuk hal yang penting bagi seorang anak laki-laki untuk dikelompokan sebagai seorang anak laki-laki dewasa didaerah tersebut.

6. Upacara masa dewasa merupakan suatu periode pembentukan serta pembinaan mental dan fisik anak laki-laki, agar dapat menjadi manusia-manusia yang bertanggung jawab bagi dirinya dan bagi semua anggota masyarakatnya.

7. Upacara dewasa memberikan arti baru bagi kehidupan sang anak, sebab saat itu adat telah memperkenankanya untuk membentuk keluarga.

8. Suwane/baeleo/rumah adat dalam kehidupan sosial budaya suku Naulu merupakan pusat pelaksanaan upacara-upacara adat dan merupakan pusat peribadatan dan tempat musyawarah.

Proses upacara masa dewasa di suku Naulu dalam hal ini khusus untuk upacara masa dewasa anak laki-laki atau Rujena punya keterkaitan dengan kehidupan suku Naulu, kertekaitan itu bisa kita lihat dengan teorinya Malinowski; teori fungsi tentang kebudayaan, inti dari teori ini adalah pendirian bahwa segala aktifitas itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya (Koentjaraningrat 1987;171).

Upacara-upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat di suku Naulu selalu berkaitan dengan mitologi atau dongeng suci yang ada pada daerah tersebut, sehingga membawa pengaruh dan efek terhadap struktur hubungan antara warga di Suku naulu menjadi sangat jelas. Seperti yang dijelaskan oleh Radcliffe-Brown dalam deskripsi etnografi The Andaman Islanders dimana metodelogi deskripsi yang dipakai menjelaskan tentang upacara, sebagai berikut; (1) Agar suatu masyarkat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka perilaku sesuai dengan kebutuhan masyarakat; (2) tiap unsur dalam sistim sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasidari sentimen tersebut;(3) sentimen itu ditimbulkan dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakatnya;(4) Adat isti-adat upacara adalah wahana dengan sentimen-setimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang pada saat-saat tertentu;(5) Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas itu dalam jiwa masyarakat, dan bertujuan meneruskanya kepada warga-warga dalam generasi berikutnya (Koentjaraningrat 1987;176).

SUMBER ACUAN ;

- Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI-Press, 1987.

- ---------------, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000

- Y. Smandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama,Yogyakarta: Tarawang Press,2000

- Suwardi Endraswara,Metodelogi Penelitian kebudayaan,Yogyakarta: Gajah Mada University Pres,2006

- Upacara tradisional Maluku, Departemen Pendidikan dan kebudayaan Propinsi Maluku, Ambon, 1978.

- Agustina Rongotwat, Perjumpaan injil dan adat suku Naulu Rouhua, Rouhua Maluku Tengah,2007

Purple